Dr.Tauhid Nur Azhar, M.Kes: ”Kita adalah korban yang aktif dalam menciptakan bencana di alam semesta ini”

28 03 2008

Bencana meluluhlantakkan kehidupan dan tatanan masyarakat. Korban jiwa, harta, dan kerugian ekonomi pun tak tak terbilang. Mengapa ada bencana? Apa faktor yang melatarbelakanginya dan bagaimana pandangan Islam mengenai bencana-bencana yang terjadi di Indonesia?

Pertanyaan-pertanyaan inilah yang coba dikupas oleh Dr.Tauhid Nur Azhar, M.Kes, yang beberapa waktu lalu, berkenan meluangkan waktunya untuk wawancara dengan Ahmad Sahidin dari Majalah Swadaya. Berikut ini petikannya.

Apa arti bencana dalam pandangan Islam?

Sebenarnya kalau dari sudut pandangan Islam, Allah menyampaikan dalam al-Quran bahwa asal muasal bencana itu tidak ada yang asalnya dari Allah. Dalam salah satu ayat disebutkan, segala nikmat yang kita rasakan patut kita syukuri. Sementara yang namanya bencana dan musibah, itu mutlak direncanakan, dibuat, dan dikerjakan manusia. Mungkin, bagi kita saat ini, berfikir tidak sejauh itu. Atau, mungkin bukan generasi kita. Tiba-tiba kita dapat bencananya. Tapi sebenarnya, setiap manusia akan dihisab atas setiap perbuatannya dan setiap perbuatan kita itu punya potensi untuk menimbulkan apakah ini menjadi nikmat atau sebuah musibah.

Kalau kita simak dari beberapa kisah nabi-nabi. Mulai dari kisah unta Nabi Shaleh, kaum Nabi Yunus, banjir Nabi Nuh, kisah Nabi Luth, atau peristiwa Nabi Musa di Mesir dan Palestina. Kita melihat ada fenomena alam. Di era Nabi Nuh, banjir itu sampai meluas dan melahirkan peradaban baru.

Jadi, sebenarnya jika melihat bencana itu ada dua pendekatan yang disinergikan. Pertama, kita memang harus mempercayai dalil yang disampaikan dalam al-Quran. Tapi juga ada pendekatan sains yang ilmiah, rasional dan ternyata sekarang betul terbukti, baik dari arkeologi, paleontologi atau bukti-bukti dari ilmu sejarah geologi.

Adanya peringatan dari para Nabi dan Rasul, sebenarnya umat manusia bisa bersikap lebih arif terhadap lingkungan. Misalnya, kita bisa belajar dari Nabi Nuh tentang pra-kiraan kejadian di masa depan. Nabi Nuh sebagai hamba Allah yang dikaruniai wahyu sudah menyiapkan kapal karena diberitahu akan ada bencana. Allah dalam peristiwa ini tidak memberikan suatu bencana begitu saja, tetapi menjadi bencana bagi orang-orang yang tidak beriman. Allah sudah memberikan tawaran, kalian percaya pada Allah atau tidak? Kalau percaya ikuti Nuh. Namun, sebagian besar mereka tidak percaya dan terkena bencana banjir. Karena tak percaya, otomatis orang-orang inilah yang terkena bencana. Artinya, bencana ini secara filosofis bukan diciptakan Allah, bukan diberikan Allah, bukan dihukum Allah, tapi karena umat manusia yang tidak bertakwa atau tidak yakin adanya kebenaran. Seandainya mereka percaya dan ikut Nabi Nuh pasti selamat dari bencana. Ini dibuktikan dengan orang-orang, hewan, tumbuhan bahkan semua makhluk hidup yang ikut dalam bahtera Nabi Nuh tak ada yang celaka.

Kedua, kalau kita bisa mensyukuri nikmat atau mengfungsikan potensi iqra untuk berfikir, maka semua fenomena alam ini tak akan menjadi sebuah bencana. Banyaknya bencana adalah ujian bagi keimanan. Sebab, Allah sudah mengaruniakan suatu sistem peringatan dini, suatu informasi dalam al-Quran dan semesta, bahwa kita harus mengelola lingkungan dengan baik dan mengelola potensi bencana. Tidak hanya ber-tadabur, tidak hanya tasyakur, tapi juga ber-tafakur tentang alam ini. Sehingga, bagi orang yang tinggal di tepi pantai yang berhadapan dengan samudra, ia harus siap dan sudah punya antisipasi bila terjadi gelombang tsunami.

Artinya, harus ada relasi keseimbangan antara Allah, manusia dan alam. Lalu bagaimana dengan peristiwa bencana?

Ya, Kita kan sudah melihat, boro-boro bersahabat dengan alam. Atau menyikapi alam dengan rasional, tapi malah keluar dari jalur itu. Harusnya manusia itu berperan sebagai rahmatan lil ‘alamin. Yakni bagaimana mengelola diri kita dan lingkungan kita supaya sama-sama menjadi rahmat. Bahkan, kalau kita ingat doa sapujagad, isinya minta bahagia dunia dan akhirat.

Jadi, sebenarnya, Allah, manusia, dan alam ini merupakan satu kesatuan, terintegrasi. Dalam konteks relasi antara Allah, manusia, dan alam, sebetulnya kita jangan mendikotomi. Artinya, bila terjadi bencana jangan mengatakan ini kehendak Allah, dan kita ini korbannya. Pemahaman ini salah. Seharusnya kita menyadari, kita adalah korban yang aktif dalam menciptakan bencana di alam semesta ini. Secara sunnatullah, alam sudah menjalankan tugas. Salah satu tugasnya bertasbih, dan menjalankan setiap fungsi yang telah ditetapkan atas dirinya. Seperti asam karbon yang ada di batu, dia tidak berinisiatif mengikuti mode, dia menjalankan fungsinya secara kaffah. Selama batu ini tidak dimanipulasi, tidak dipecah oleh manusia untuk dijadikan pondasi, maka ia akan terus istiqomah menjadi batu. Sementara manusia kan berfikirnya lain-lain. Ada yang ingin mengeksploitasi tanpa melihat akibat yang ditimbulkan.

Dalam konteks menghadapi musibah dan bencana yang tadi, harus kita asosiasikan dengan aktivitas. Kita harus belajar mulai mengintegrasikan untuk mensinergikan ketiga unsur tadi dalam satu kesatuan. Seperti dalam hadits, Allah itu sebagaimana prasangka kita. Jadi kalau kita terus menerus su’udzon, bahwa Allah itu tak sayang, bencana atau musibah itulah hasil doa kita. Itulah prasangka kita kepada Allah. Allah sudah memberitakan kita otak. Allah sudah memberi kemampuan al-bayan untuk mengkomunikasikan diri, untuk saling berinteraksi, dan berekspresi.

Allah sudah memberikan ruang-ruang dan potensi-potensi yang ada dalam diri dan alam ini, tapi sayangnya tidak kita manfaatkan. Sehingga kita melihat sendiri akibatnya, hutan gundul di mana-mana karena tidak ada kontrol dari diri kita terhadap hawa nafsu. Contoh yang paling nyata adalah saat kita mengekspor asap ke negara tetangga dengan membakar hutan sehingga berbahaya bagi kesehatan. Bayangkan, kita mendzalimi warga negara tetangga. Ini menunjukkan budaya dan perilaku instan itu adalah cerminan tingkat keimanan yang rendah.

Apa sebabnya dan harus bagaimana?

Sebabnya adalah orang tidak percaya pada hari akhir. Kalau percaya kita akan dihisab, pasti akan takut untuk melakukan pembakaran sembarangan hutan. Karena akan banyak orang yang menderita dan itu bentuk kedzaliman. Bayangkan, orang yang sakit atau teraniaya, kan doanya diijabah. Mungkin karena negeri kita ini didoakan oleh banyak orang, jadilah bencana di mana-mana. Ini harusnya menjadi catatan bagi kita. Kita kan sudah diberi potensi untuk menyampaikan peringatan. Tapi karena kita lalai, atau tak pernah menegur, maka kita sudah menanam saham bencana.

Nah, dalam hal inilah kita perlu membangun sebuah sistem simbiosis mutualisme. Bukan hanya meningkatkan kualitas ketakwaan dan keimanan, tapi juga berperan aktif dalam pengambilan keputusan secara proporsional dan seimbang. Kita harus mampu seperti Nabi Nuh dan Nabi Khaidir, yang mempunyai kemampuan menjangkau jangka panjang. Sebenarnya kita bisa mengambil ibrah terhadap kisah-kisah Nabi dan Rasul yang terdapat dalam al-Quran. Kita jangan berfikir satu dua langkah ke depan, tapi sepuluh atau lima belas langkah ke depan.
Karena itu, setiap kita mengerjakan sesuatu atau berinteraksi dengan sesuatu itu harus memperkirakan dampak-dampak yang akan kita hadapi atau timbul akibat perbuatan kita. Sehingga kita bisa mempertanggungjawabkannya.

Bisa dijelaskan bentuk-bentuk bencana dan dampaknya?

Bencana yang paling berbahaya adalah bencana akhlak. Dengan kemerosotan akhlak jadilah bencana alam. Kita lihat anatomi bencana dan kita petakan. Orang sering mengaitkan bahwa bencana itu bencana alam. Ada bencana tektonik (gempa), gelombang tsunami, vulkanik (gunung api), angin badai, banjir, kemarau panjang dan termasuk ledakan populasi manusia. Karena manusia juga bagian dari alam. Karena manusia itu jumlahnya banyak, maka keseimbangan alam terganggu.

Contohnya, rawa menjadi sawah, hutan menjadi pemukiman dan lain-lain. Sehingga penguapan dan persedian air dan bahan makanan dari alam dikuras habis tanpa berupaya menanam atau mempertahankan keberadaan alam tersebut. Akibatnya menimbulkan bencana.

Ada juga bencana akibat teknologi. Dampak bencana akibat teknologi ini ada yang langsung dan tidak langsung. Dampak langsung misalnya membuat pesawat tapi manjemen dan proses pengoperasiannya mengabaikan aturan sehingga terjadi kecelakaan. Sekarang iklim di Bandung kan sudah panas. Ini terjadi karena bumi sudah menyimpang dari orbit, dan bila bumi jauh dari matahari sehingga terjadi penurunan suhu secara global. Saudara-saudara kita kan kemarin di Mekah dan Arafah, mengalami kedinginan karena suhunya ekstrim sampai 5 derajat. Padahal kita tahu di sana itu panas.

Belum lagi kalau melihat di kota-kota besar, jalan semakin padat dan tingkat kehati-hatian harus ekstra. Tingkat kecerobohan semakin tinggi karena semua orang ingin cepat sampai dan sudah jenuh dengan kemacetan. Jadi tingkat kecelakaan sangat tinggi. Ini juga bencana.

Nah, di sini kita awali dengan mikir panjang dan siap menghadapi konsekuensinya. Kita tidak bisa menghentikan, tetapi Allah memberikan kemampuan untuk belajar beradaptasi. Bencana itu tanpa kita sadari, tanpa kita hendaki, tetapi yang harus kita sadari adalah bagaimana kita beradaptasi dengan alam. Kita juga harus sudah punya konsep perencanaan yang matang. Ada sebuah hipotesa yang menarik, semakin hedonis suatu masyarakat, maka makin banyak bencana alam yang terjadi. Karena karakter masyarakat hedon, semata-mata kehidupannya untuk kepentingan diri sendiri. Makanya tak heran, dulu, Indonesia sebagai paru-parunya dunia. Tapi sekarang, sudah bukan lagi. Karena itu datang badai, gempa, banjir, dll. Jelas semua elemen ada hubungannya. Kalau masyarakat semakin hedon, alam akan semakin rusak. Seperti sarang laba-laba. Walaupun letaknya diujung yang bersebrangan dengan kita, tapi masih ada tali temali halus yang menghubungkan. Sehingga apa-apa yang telah kita kerjakan, fikirkan, dan rencanakan itu, akan turut menentukan terhadap terjadinya sebuah proses bencana.


Bagaimana melihat kiprah instansi Islam atau Lembaga Amil Zakat Nasional Dompet Peduli Ummat Daarut Tauhiid (DPU DT) dalam menangani bencana?

Subhanallah, ini adalah satu kegiatan yang termasuk fardhu kifayah, wajib. Kalau kita tidak menyikapinya, tentu akan menimbulkan bencana baru, yaitu bencana kemudharatan. Karena sudah tertimpa musibah itu kondisi psikologisnya sudah terganggu. Sekarang pun sudah banyak di antara kita yang menyikapi bencana itu dengan kemarahan. Kalau tidak segera diberikan terapi akan terjadi sebuah keruntuhan struktur sosial. Ada pernyataan dari seniman, orang Bantul (Yogyakarta) sebelum gempa, adalah orang-orang dengan etos kerja dan harga diri yang tinggi. Tetapi ketika terjadi gempa, karena takut tak mendapat rizki, mereka ada yang menjadi masyarakat pengemis. Padahal, dulu diberi pun tidak mau. Tapi, sekarang sebagian menjadi masayarakat pengemis yang kadang-kadang kalau tidak diberi menjadi marah.

Sebenarnya, DPU mempunyai tugas mulia, yaitu meredam naluri-naluri rakus dan jahat, supaya kekufuran dan kemungkaran tidak merebak. Ada beberapa fokus yang mesti dijalani setelah penanganan tanggap darurat, yaitu penanganan dampak-dampak psikososial. Misalnya, kasus orang yang tadinya kaya, setelah bencana kan tak punya apa-apa. Ini jadi stress bagi mereka. Tadinya sekolah dan bekerja dengan segala rutinitas, sekarang kehilangan segalanya. Tadinya punya keluarga lengkap dan sekarang tinggal sendirian, akibatnya karena tidak tahan ia bunuh diri.

Saya kira DPU harus merevitalisasi programnya. Ada tiga hal yang berkaitan dengan ini. Pertama, tanggap darurat. Kedua, memahami bahwa setiap musibah selalu ada fase seperti rejeksi (rasa tak percaya kalau ini terjadi—red), adaptasi (penyesuaian dengan kondisi dan konteks lokal—red), reposisi (bimbing menjadi individu baru—red). Sedangkan ketiga, ini yang terpenting, adalah mulai rehabilitasi dan resolusi dengan terjun melakukan perbaikan kondisi dan pengarahan tujuan hidup baru para korban.

Memang, DPU saya lihat sudah bergerak dalam hal yang pertama. Namun yang selanjutnya, belum nampak hasilnya. Jadi, tolong fasilitasi masyarakat korban untuk kembali bangkit dan hidup mandiri dengan program-program pencerahan spiritual dan pemberdayaan ekonomi.

Ada pesan untuk masyarakat?

Dalam menyikapi bencana, masyarakat harus mengedepankan konsep iqra. Konsep belajar ini kalau diterapkan akan punya kemampuan untuk memperkirakan. Masalah dalam hidup memang silih berganti. Tapi setidaknya, dampaknya sudah kita perkirakan.

Selanjutnya, masyarakat harus bisa melakukan langkah-langkah pencegahan atau antisipasi berupa persiapan. Selain itu, kita juga harus mawas diri dengan berpikir untuk 5 sampai 10 tahun ke depan. Dengan ini kita akan senantiasa mempersiapkan diri dan mempertimbangkan setiap langkah yang akan kita ambil. Sehingga, terukur segala manfaat dan nilai tambah yang akan kita peroleh.

Terakhir, mencegah bencana harus dengan kearifan. Kearifan itu sumbernya dari Allah dan dijabarkan dalam konsep iqra dan berada dalam koridor Allah SWT. Sehingga, kalau kita sudah iqra, setiap langkah kita fikirkan terlebih dahulu, insya Allah setiap dampak bisa kita kendalikan. Bila kita bisa bersikap seperti itu, banyak orang yang selamat dan tercegah dari bencana. Mari kita mulai menjadi manusia yang bermanfaat. Sebab kalau boleh dikatakan, bencana itu modal awal yang diberikan Allah SWT untuk membangun sebuah tatanan yang berakhlak baru. Inilah yang saya kira semua bencana itu dalam konteks relasi keseimbangan punya hubungan yang sangat erat satu sama lain dengan konsep ketauhidan.

BIODATA

Nama
TAUHID NUR AZHAR

Kelahiran
BANDUNG, 19 SEPTEMBER 1970

Alamat
JALAN PARONGPONG, KOMPLEKS VILA ISTANA BUNGA BLOK H NO.3 LEMBANG, KABUPATEN BANDUNG

Istri
RAHUTAMI NUGRAHANI

Anak
SYAFANA
HALID
MALIK

Pendidikan
S1 Univertas Diponegoro (Undip) Semarang
S2 Univertas Indonesia (UI) Jakarta dan Undip Semarang
S3 Universitas Kebangsaan Malaysia, Kuala Lumpur

Aktivitas
Dosen Universitas Islam Bandung (UNISBA)
Dosen Institut Teknologi Bandung (ITB)
Dosen Universitas Padjajaran (UNPAD) Bandung


Aksi

Information

4 responses

12 08 2008
Jauhari

Mantap Mantap

9 09 2008
manglufti

waduh mantap
ada no kontak yang bisa dihubungi nggak ya?
saya pingin buat seminar dan pembicaranya DR Tauhid. Ada gak ya? bisa minta?

10 10 2008
Nandang Noor RH (AZMI)

Sahabat Tauhid Nur Azhar, Insya Alloh saya sependapat dengan anda. Tuhan tidak mungkin secara begitu saja menghancurkan alam dan makhluq ciptaan-NYA. Sangat pasti kalo Tuhan berkehendak, hanya saja manusia dengan segala keterbatasannya sering beralasan untuk mengatakan belum memahami kehendakNYA. Padahal ada potensi yang diciptakan lebih dahulu kepada manusia, yakni RUH. itulah yang bisa menjadi media untuk bisa menangkap apa kehendak Tuhan. Termasuk apa yang terjadi perubahan alam ini.
Baiklah, secara sederhana kita semua kembali harus menginsyafi bagaimana mungkin kalo Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang akan memberikan kesengsaraan kepada hambaNYA yang telah Dia ciptakan.
Kita harus mampu menangkap kenapa Tuhan menjadikan bencana pada alam ini kalo tidak karena Tuhan Maha Penyayang memberikan sinyal bombinganNYA yang harus di baca oleh segenap ciptaaNYA. Dalam bencana ada uraian Firman yang diturunkan, ada bimbingan yang harus diterima, ada wahyu yang disampaikan.
Bisakah kita membacanya? dengan hati? tidak, hati adalah unsur baru yang diciptakan Tuhan setelah manusia dilahirkan. Akal fikiran-pun hanya bagian kecil untuk menangkap kebenaran dan wahyu dari Tuhan. Tapi ruh yang terbimbing dengan kekuasaanNYA yang akan mampu menterjemahkan setiap wahyu Tuhan yang diturunkan dalam segala bentuk kehendakNYA. termasuk pada bencana alam.
Mari kita menginsyafi diri bahwa jangan hanya lisan, fikir dan hati yang bertakbir. Tapi latihlah ruh untuk bisa menerima apapun dari Tuhan.
Jangan sampai kita lelah dan kehabisan waktu pada perdebatan tentang membedakan dari sisi bahasa tentang “Ruh, Qolbu dan hati”.
Yang perlu kita insyafi saat ini adalah Menyerah dan menerima setiap keputusanNYA dengan ruh bukan dengan fikiran. akal dan fikiran justru menjadi modal kita di dunia untuk produktif dalam beramal sholeh.

Salam dari sahabat seperjuangan.
Nandang Noor RH (AZMI)

28 02 2012
sofyan

aslm, boleh tanya ahwal imunisasi untuk bayi……..??????
SAYA pya anak pertama , hendak imun, tapi saya ragu…. mhon urun sarannya ya ustadz…………. jazakallah

Tinggalkan Balasan ke manglufti Batalkan balasan